Menjadi Guru Zaman Now yang Memahami Kecerdasan Dasar Anak

Dalam rangka HUT PGRI tahun 2017 Yayasan darul Izzah melakukan lomba penulisan karya ilmiah / artikel yang berjudul “Guru Zaman Now” untuk guru dan pegawai di lingkungan Sekolah Berbasis Qurani Izzati. Berikut Juara 1 penulisan karya ilmiah yang di tulis oleh Ayu Listiyaningrum, S.Pd.I

Menjadi Guru Zaman Now yang Memahami Kecerdasan Dasar Anak

Oleh : Ayu Listiyaningrum, S.Pd.I

Guru inggih menika di gugu lan ditiru. Guru dalam tradisi Jawa merupakan akronim
dari “digugu lan ditiru” (orang yang dipercaya dan diikuti).. Seorang guru harus bisa
dipercaya dan di patuhi setiap perkataannya oleh murid, segala tingkah dan budi pekerti guru
juga harus mulia karena guru merupakan cermin bagi seorang murid atau ditiru segala tindak
tanduknya. Jadi jika saya atau mungkin anda yang saat ini membaca artikel saya adalah
seorang guru yang hanya bisa mengajar tanpa memberi pelajaran budi pekerti serta akhlakul
karimah. Saya rasa kita belum bisa mencap diri kita sebagai seorang guru.
Sebagian dari kegelisahan seorang guru adalah bagaimana cara menghadapi segala
karakter siswa yang beragam dan tak banyak dari kita seorang guru menyelesaikan masalah
ini adalah dengan menghukum, berkata keras, atau bahkan memarahi siswa yang kurang
patuh dengan instruksi maupun keterbatasan mereka dalam memahami mata pelajaran yang
kita ajarkan. Tahukah kita bahwa sebenarnya saat kita marah artinya murid sedang bercermin
dan belajar “oh begitu ya yang namanya marah” demikian juga ketika kita berkata santun
murid pun sedang bercermin “oh ya begini cara berbicara dengan orang lain”. Tak mudah
memang untuk menjadi guru yang sepenuhnya bisa digugu lan ditiru.
Allah berfirman, dalam QS. At-Taubah ayat 105
وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ
تَعْمَلُونَ
Dan katakanlah, "Bekerjalah kalian, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat
pekerjaan kalian itu dan kalian akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang gaib dan yang
nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kalian apa yang telah kalian kerjakan.”
Guru zaman now sebaiknya mampu menjawab segala kegelisahannya. Sudah saatnya
guru mampu memberi solusi atas permasalahan yang dia hadapi dengan bijak. Sudah saatnya
murid bisa bercermin dengan cermin yang bersih. Sebagai seorang guru saya masih kerap
mendengar seseorang menjudge bahwa anak ini sangat nakal, anak ini (maaf) bodoh, anak ini
ngeblank banget saat mengerjakan soal matematika. Wahai guru yang dikata orang sebagai
pahlawan tanda jasa ingat dalam surat diatas (At-Taubah: 105) Allah dan Rasul-Nya akan
melihat pekerjaan kita, maka marilah saya, anda, dan kita bekerja dengan hati jadilah kita
sama-sama berusaha menjadi guru yang digugu lan ditiru kebaikannya.

Sungguh tidak ada anak yang bodoh, nakal, atau pun mampu melahap semua mata
pelajaran di sekolah dengan angka maksimal. Setiap anak terlahir dengan kecerdasan dasar
mereka masing-masing. Disini saya tidak akan membahas lebih detail tentang 9 kecerdasan
anak (kecerdasan visual, verbal linguistik, logis matematis, kenestetis, musikal, interpersonal,
intrapersonal, naturalis, dan kecerdasan spiritual) karena saya yakin materi itu sudah bukan
hal yang asing bagi kita terutama guru. Namun, saya berharap kita semua mampu
mengoptimalkan 9 kecerdasan anak tersebut.
Berikut adalah secarik kertas yang ditulis murid saya, Syathra Fachira Rizky atau
biasa kami panggil dengan Rara anak kelas I B Siti Fatimah SDIT Izzati

Dalam surat yang ditulis untuk teman sebangkunya, Callizta Princesza yang biasa
kami panggil Tita. Ia menuliskan, “Terima kasih Tita karena sudah tersenyum padaku kau
juga baik sekali. Maukah kamu menjadi temanku?” setelah menemukan surat ini saya
cermati dengan sungguh-sungguh dan akhirnya saya menemukan bahwa kecerdasan Rara
adalah terletak pada kecerdasan verbal linguistik atau kecakapan bahasa karena tidak semua
anak kelas satu mampu menulis dengan bahasa yang mengandung sastra seperti yang Rara
tulis. Jadi, ketika saya menemukan Rara sulit menyerap pelajaran matematika disitu saya
sadar bahwa logis matematis bukanlah kecerdasan maksimal Rara. Dan saya sadar tidak
mungkin saya memarahi Rara atau memaksa Rara untuk cepat memahami pelajaran
matematika. Saya hanya berusaha memaksimalkan kecerdasannya dengan mengubah soal
matematika yang saya kedalam bahasa. Misalnya: 2+5 = 7 maka saat saya mengajari Rara
akan lain caranya ketika saat saya mengajari murid saya yang bernama, Dhia Salma Huwaida
yang hanya dalam waktu sekitar 10 menit sanggup menyelesaikan 10 nomer soal tentang
penjumlahan tersebut karena memang kecerdasan dasar Dhia Salma adalah terletak di logis
matematis. Begini cara saya dan Rara menyelesaikan soal tersebut. “Saat Rara ke toko
boneka Rara membeli dua boneka warna ungu lalu Rara melihat ada 5 boneka warna merah
lalu Rara membelinya lagi. Sekarang berapa jumlah boneka yang Rara beli?”

Memang sangat memakan banyak waktu ketika kita mengajar dengan cara seperti itu.
Namun, kita juga harus sadar bahwa setiap anak itu unik dan memiliki masing-masing
kemampuan maksimal yang berbeda. Semoga pada akhirnya kita semua bisa menjadi guru
zaman now yang digugu lan ditiru kebaikannya. Amin…

Pekalongan, 25 November 2017

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *