Merubah  Dua Sisi Mata Uang, Mungkinkah?

Bahasan tentang dunia pendidikan, merupakan sesuatu hal yang sangat menarik untuk dibicarakan. Karena tonggak peradaban suatu bangsa terdapat dalam pendidikan dengan mutu dan kualitas terbaik yang harus diberikan pemerintah suatu negara sebagai badan penyelenggara dari pendidikan di negara tersebut. Di era digital ini, dunia pendidikan semakin berkembang pesat terlebih dengan perkembangan teknologi yang semakin memudahkan kemajuan dalam dunia pendidikan. Namun, bagaimanakah dengan pendidikan di negara kita Indonesia?

 

Berdasarkan data yang saya kutip dari satu satu halaman di www.dw.com, yang membahas tentang tingkat pendidikan Negara-negara ASEAN. Indonesia menempati posisi ke 5, lebih rendah daripada Malaysia yang berhasil menempati posisi ke 3 ditingkat ASEAN. Menurut Survei UNESCO pada tahun 2012 Indonesia hanya menempati peringkat 64 dari 120 negara didunia berdasarkan penilaian Education Development Index (EDI).

 

Bukan hanya dari segi kualitas dan mutu pendidikan di negeri kita yang belum memadai, banyaknya anak yang putus sekolah mencapai angka yang sangat memprihatinkan. Data UNICEF tahun 2016 mencatat sebanyak 2,5 juta anak Indonesia tidak dapat menikmati pendidikan lanjutan. Sebanyak 600 ribu anak usia sekolah dasar (SD) dan 1,9 juta anak usia Sekolah menengah pertama (SMP). Padahal, porsi belanja pendidikan mencakup 20% dari APBN .  Anggaran pendidikan di Indonesia, sama besarnya dengan anggaran pendidikan di Vietnam yaitu 20% dari APBN. Namun apa yang terjadi kemudian? Menurut survei yang diadakan oleh Programme for International Student Assessment (PISA) Indonesia ada diperingkat 52 dari 55 negara dalam bidang matematika, sains dan membaca. Sedangkan Vietnam berhasil menempati peringkat 8.  Perbedaan yang sangat signifikan dengan jumlah anggaran belanja pendidikan yang sama.

 

Dalam segi Infrastruktur pun, meski mendapat anggaran 20% setiap tahunnya kondisi infrastruktur masih tergolong buruk. Data Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan yang dilansir dari halaman Data.go.id memperlihatkan bahwa mayoritas ruang sekolah masih dalam keadaan rusak. Dari 1,6 juta ruang kelas yang ada hanya 29,3% ruang kelas dalam keadaan baik, sisanya dalam kondisi rusak ringan, sedang dan berat. Kondisi rusak paling banyak  terdapat pada Sekolah Dasar.

 

Apakah pertanyaan yang terlintas tatkala banyak anak usia sekolah dasar belajar dalam kondisi sekolah yang hampir ambruk?. Atau anak-anak di pedalaman yang belajar hanya dengan tempat seadanya dengan kondisi sekolah yang jauh, bahkan harus menyebrangi sungai yang tak jarang dengan berenang atau naik gondola yang hanya terbuuat dari bambu dan tambang seadanya. Tentu kita tidak bisa menutup mata, di zaman now yang hidup kita semua serba mudah dengan semua fasilitas yang memadai, masih ada yang harus berjuang keras dahulu hingga mempertaruhkan nyawa untuk mencapai sekolahnya.

 

Problematika ini perlu mendapatkan perhatian yang sangat khusus, karena setiap warga negara berhak mendapatkan hak yang sama dalam bidang pendidikan. Agar setiap penyelenggaraan pendidikan mampu memberikan yang terbaik agar generasi bangsa yang tumbuh adalah generasi bangsa yang mampu memimpin Indonesia kelak menjadi negara adidaya yang agamis, kuat dan bijaksana.

 

Masalah yang dihadapi dalam dunia pendidikan zaman now berikutnya adalah masalah akhlak. Masalah akhlak ini adalah masalah yang paling berat dihadapi, sama dengan beratnya masalah pemerataan infrastruktur yang baik. Fenomena yang terjadi jauh dari realisasi pendidikan yang secara gamblang dijalankan saat ini. Padahal, akhlak atau moral harus dijunjung tinggi lebih dahulu dibanding pendidikan yang lainnya. Karena masalah ini menyangkut hubungan antara sesama manusia dan Allah swt.

 

Belum lama ini  dunia pendidikan digegerkan dengan berita seorang guru yang dilaporkan oleh orangtua murid ke ranah hukum, hanya karena sang anak ditegur lalu dicubit karena tak mengikuti shalat  berjamaah. Zaman old, tidak pernah atau mungkin kecil kemungkinan sang guru diadukan murid hanya karena mengingatkan. Yang pernah terjadi adalah murid dihukum dengan berdiri di lapangan upacara saat ketahuan tidak mengikuti upacara misalnya. Kini keberadaan guru rasanya sulit untuk dihormati oleh murid. Apakah penyebabnya adalah secara kecerdasan otak? Tentu tidak, karena murid yang memiliki kecerdasan intelegensi belum tentu memiliki kecerdasan akhlak yang baik.

 

Lain lagi kisah seorang murid peraih nilai Ujian Nasional tingkat SMP tertinggi 2 tahun silam, yang kini murid tersebut menjelma menjadi musuh terbesar pendidikan moral anak bangsa. Bagaimana tidak, dengan bangganya  ia mengenalkan dan mempopulerkan gaya hidup bebas melalui akun sosial medianya. Akun  sosial medianya bahkan diikuti oleh ratusan ribu generasi bangsa yang rata-rata adalah usia remaja dan usia sekolah dasar yang sungguh sangat membuat khawatir. Karena dapat memberikan pengaruh yang sangat buruk bagi pendidikan nilai-nilai moral.

 

Pendidikan tidak hanya dibebani tugas mencerdaskan anak didik dari segi kognitif saja, akan tetapi kecerdasan dari segi afektif dan psikomotorik harus diperhatikan. Dalam hal ini beban pendidikan yang berkaitan dengan kecerdasan afektif siswa adalah upaya membina moral (akhlak) dari siswa tersebut. Moral yang diharapkan adalah moral yang menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan dan nilai-nilai budaya bangsa kita. Akan tetapi untuk mewujudkan hal tersebut dewasa ini tampaknya banyak kendala yang harus dihadapi.

 

Fenomena diatas menunjukkan adanya kesenjangan antara apa yang diharapkan dari dunia pendidikan dengan nilai-nilai pendidikan yang kita saksikan di masyarakat. Sehingga memunculkan tanda tanya terhadap makna pendidikan, khususnya keefektifan dalam membangun afeksi anak didik yang eternal serta mampu menjawab tantangan zaman. Anak didik yang memiliki kecerdasan intelegensi dan kecerdasan akhlak secara seimbang.

 

Pendidikan akhlak di Indonesia hanya sebatas pelajaran dalam beberapa bab Pendidikan Agama Islam, yang saya ketahui dan pernah saya pelajari. Itupun hanya dibahas secara akademik, tidak secara terus menerus untuk direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan akhlak juga belum menyeluruh pada setiap jenjang lembaga pendidikan, dan bukan menjadi bagian dalam kurikulum yang diperhatikan oleh pemerintah. Kurikulum pemerintah dewasa ini masih memusatkan pada kecerdasan intelegensi saja.  Hanya beberapa lembaga pendidikan yang tentunya dengan kualitas yang  sudah baik memiliki pendidikan karakter dan akhlak yang kuat. Untuk itulah perlu dikembangkan lagi masalah pendidikan akhlak seperti yang selama ini sudah diterapkan di sekolah-sekolah Islam.

 

Kemajuan dunia pendidikan yang sangat pesat, nampaknya menjadi dua sisi mata uang yang berbeda. Di satu sisi memberikan pengaruh yang sangat baik, disatu sisi kita harus terus berjuang keras mendidik generasi penerus bangsa yang memiliki karakter akhlak yang kuat dan kecerdasan intelegensi secara bersamaan. Agar kecerdasan intelegensi tidak lagi menjadi bumerang bagi dunia pendidikan zaman now. Dan terus berjuang agar masalah pendidikan di Indonesia bukan lagi masalah putus sekolah, sarana yang tidak memadai, atau bumerang atas kecerdasan intelegensi tanpa diimbangi dengan akhlak dan karakter yang kuat.

 

 

Merubah dua sisi mata uang menjadi sama-sama menguntungkan seperti makna uang sesungguhnya adalah tugas yang harus diemban oleh seluruh pelaku pendidikan. Banyaknya problematika dalam masalah pendidikan zaman now ini bukan lagi masalah antara pihak-pihak sekolah saja, tetapi semua pihak yang terlibat dalam pembentukan generasi bangsa. Bila dalam benak anda terfikir untuk menyampaikan kata mungkinkah? Saya dengan lantang akan menjawab Insyaa Allah bisa. Karena segala sesuatu yang berniat baik akan menghasilkan sesuatu yang baik pula. Tentu bila kita semua bersinergi, bekerja bersama. Bukan hanya mencari keuntungan dalam hal ini, karena ini adalah amanah yang sangat mulia dalam merubah peradaban bangsa Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar didunia, tidak lagi tertinggal dalam segala bidang dengan negara tetangga yang penduduknya sebagian besar tidak beragama.   Bukankah tugas itu dimulai dari kita dahulu?  Para bapak dan Ibu guru? Siap tidak siap, kita harus memiliki kesiapan untuk menjadi teacher zaman now, bukan lagi teacher zaman old.

 

“Seorang guru sebagai penyampai ilmu, semestinya dapat menggetarkan jiwa atau hati murid-muridnya sehingga semakin dekat kepada Allah SWT dan memenuhi tugasnya sebagai Khalifah dibumi ini”

( Imam Al Ghazali )

 

 

 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *